“Bunda,
tadi Ghisa ingat ada seseorang yang menolong Ghisa, siapa dia? Dimana dia?”
“Oh itu, petugas penyelamatan.”
“Tapi, Ghisa kenal suaranya bunda.”
“Bunda tak tahu nak, tadi yang
mengantarkan Ghisa ke rumah sakit petugas penyelamatan, dan yang menelpon bunda
adalah fianka.”
“Teman – teman Ghisa dimana bunda?”
“Teman – temanmu sedang mencari
tempat tinggal sementara, sedangkan fianka sedang membeli makanan.”
“Iya sayang”
Bunda terus membacakan ayat suci
Al-Qur’an, sementara Ghisa mendengarkannya penuh keharuan.
“Nando, gimana keadaan yang
lainnya?”
“Alhamdulillah, Tama, kau sudah
sadarkan diri, yang lainnya selamat, Ghisa pun sudah siuman ada di kamar
sebelah.”
“Alhamdulillah” Tama membaca doa
untuk orang sakit dalam lirihannya.
“Ibu dirumah tidak diberi tahu kan
do?”
“Tidak ada yang memberi tahu kok”
“Hpku ada gak? Ingin telpon Ibu,
takut khawatir.”
“Aku lihat hp kamu tam, tapi sudah
hancur ketika kami sedang mencari kalian.”
“Innalillahi” Tama beranjak dari
ranjangnya.”
“Hey, mau kemana kau?”
“Aku ingin menelpon dengan telpon
umum do”
“Astaghfirullah, ini pake hp ku
gratis Tam!”
“Yakin do?”
“Yakinlah!”
“Alhamdulillah, jazakallah ya ndo”
“Ya, sama-sama.
“Hallo, assalamu’alaikum ibu, ini
Tama”
“Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah,
Tama kamu sehat nak? Ibu khawatir, hpmu kemana? Dari tadi ibu telpon tidak
aktif, ibu khawatir kamu kenapa – napa nak.”
“Alhamdulillah ibu, berkat doa ibu
Tama disini baik – baik saja, maaf sudah membuat ibu khawatir. Untuk sementara
ibu kalau ada apa – apa telpon ke nomor ini ya, ini nomor Nando, teman Tama.
Ibu bagaimana keadaannya? Sudah baikan? Ayah sudah pulang?”
“Alhamdulillah, ibu sudah baikan,
tadi ibu dibawa ke dokter oleh ayah, ibu baik – baik aja, hanya kecapaian
saja.”
“Alhamdulillah, ibu baik – baik
disana ya, istirahat dulu, baju tak usah dicuci, biar Tama sepulang dari sini
yang mencucinya, maaf Tama gak jadi pulang hari ini karena disini kemalaman,
Tama pulang 3 harian lagi karena Tama harus bantu-bantu teman disini ibu tak
apa?”
“Iya tak apa Tama, hati – hati
disana ya, Ibu sayang sama Tama karena Allah muach.”
“Tama juga sayang Ibu karena Allah,
salam untuk bapak ya Ibu. Ibu istirahat ya, Tama pamit, Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumussalam”
“Assalamu’alaikum Ghisa”
“Assalamu’alaikum Ghisa”
“Wa wa’alaikumussalam, Kamu siapa?
Disini putih semua ”
Ghisa membuka matanya perlahan,
mengintip siapa yang menggendongnya.
“Kamu siapa?” tanya Ghisa lirih.
Tetapi laki – laki itu tak mendengar
dan berbicara sendiri.
“Maafkan saya Ghisa, saya tak bisa
menggendongmu dengan hijab, karena tak ada, saya janji akan menikahimu segera.
Maaf ya saya tahu kau orang yang menjaga hijab, begitupun dengan saya. Tenang
saja sebentar lagi mereka akan menemukan kita, sekali lagi maafkan saya ya
Ghisa”
“Kamu siapa?”
“Ghisaa, Ghisa sayang bangun..
istighfar ada apa Ghisa?”
“Bunda, siapa yang nyelamatin Ghisa,
bunda?”
“Atas izin Allah, Ghisa dapat
diselamatkan oleh petugas.”
“Bukan bunda, bukan petugas, siapa
bunda?”
“Bunda tak tahu sayang. Sudah tak
usah dipikirkan, Ghisa istirahat lagi ya, pasti tadi mimpi yang aneh ya?
Sebelum tidur berdoa dulu sayang”
“Ghisa ingin mendengar tilawah bunda
lagi”
“Boleh sayang”
Hari
terakhir di rumah sakit
“Dokter, alhamdulillah benar saya
sudah bisa pulang dok?”
“Ya, silahkan. Siapa yang
mengantar?”
“Saya dok saya yang akan membawa
teman – teman saya pulang seperti saat berangkat.”
“Hati – hati dijalan ya, jangan lupa
obatnya dimakan dengan teratur dan ini surat untuk kontrol pertama di kota sana
ya.”
“Baik dok.”
“Alhamdulillah kita sudah sampai di
rumah ya, Ghisa mau makan apa? Biar bunda masakkan”
“Ghisa ingin tidur bunda, Ghisa
lelah dan pusing”
“Ya sudah ayo bunda temani.”
Siang itupun ada tamu ke rumah
Ghisa.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumussalam”
“Waah nak Tama, sudah sehat?”
“Alhamdulillah pak, perkenalkan ini orang tua saya.”
“Silahkan masuk, Selamat datang di
rumah kami.”
“Alhamdulillah terima kasih banyak
atas bantuan bapak pada anak kami, Tama sudah menceritakan semuanya. Kami
sangat berterima kasih pak”
“Ya, itu tak seberapa, itu sebagai
rasa syukur telah ditemukannya anak saya.”
“Anak bapak yang cantik itu ya?”
“Oh ya, jelas hehe, tahu darimana
nih saya jadi malu.”
“Ya, Tama yang bercerita tentang
putri bapak.”
Tama menyenggol ibunya yang berkata
seperti itu dan tersipu malu.
“Bundaaa, ada tamu, Ghisa dimana?”
“Alhamdulillah ada tamu, Ghisa
sedang tidur katanya masih pusing, maaf
bunda belum kenal mereka siapa ayah?”
“Perkenalkan, ini Tama dan orang
tuanya, teman Ghisa yang terluka seperti Ghisa”
“Ooh Tama, ya maaf ya bunda belum
pernah lihat, bunda juga gak sempat jenguk karena Ghisa sangat kritis dan tak
bisa ditinggal”
“Ya gak papa bunda, sekarang Ghisa
bagaimana?”
“Alhamdulillah, Sudah membaik
meskipun belum dapat berjalan dan sekarang ini Ghisa sering mengigau siapa
kamu, bunda juga gak ngerti kenapa bisa gitu ya. Kira – kira nak Tama tahu
tidak ya penyebabnya?”
“Oh kurang tahu bunda mungkin ia
bermimpi yang kurang baik.” Jawab Tama langsung memalingkan wajahnya.
“Ya, bunda kira juga seperti itu”
“Oh ya, sebetulnya kami kemari ingin
berterima kasih dan ingin menyampaikan pesan dari anak kami.”
“Pesan apa pak?”
“Anak kami Tama ingin menyampaikan
lamaran kepada putri bapak.”
“Waah, subhannallah, kok bisa
mendadak seperti ini ya?”
“Tama sudah memendam perasaanya
sejak dulu pak, jadi ia merasa ini harus disegerakan.”
“Waah, kami mau – mau saja menerima
lamaran itu, mengingat Tama anak yang shaleh yang kami yakin Tama akan bisa
menjadi imam yang baik bagi Ghisa, tapi sekarang keadaan Ghisa masih kurang baik, kami harus
mempertimbangkan dan mendiskusikannya dengan Ghisa.”
Tiba – tiba Ghisa datang dari
belakang ayahnya menggunakan kursi roda yang dibantu oleh bi fina.
“Ghisa menerima lamaran Tama yah”
“Ghisa” semua kaget mendengar suara
yang lemas itu.
“Ghisa terima ayah, bunda, Ghisa
siap menikah sekarang juga insyaAllah, masalah resepsi ataupun yang lainnya
biar nanti saja.”
“Subhannallah, kamu yakin Ghisa?”
“Ya, Ghisa sangat yakin insyaAllah.”
“Baiklah, sayapun siap menikah hari
ini, insyaAllah ibu, bapak dan ayah bunda.” Jawab Tama dengan mantap dan penuh
keyakinan.
“Sebentar, ayah tak sangka dan
bingung mengapa secepat ini? Apa ada hal yang kalian lakukan sebelumnya?”
“Tidak!” jawab Tama dan Ghisa
serentak.
“Ayah percaya, namun dapatkah
dijelaskan mengapa harus secepat ini?”
“Menikah itu sunnah ayah, harus
disegerakan.” Ghisa tersipu malu.
“Saya setuju dengan Ghisa, bagaimana
ayah dan bunda? Bolehkah saya menikahi putri ayah dan bunda?”
“Bunda bahagia jika Ghisa bahagia.”
“Baiklah, ayah setuju, kita harus
mempersiapkannya dulu, pernikahan nanti malam ba’dza isya, bagaimana?”
“Ya, baik kami yang akan menyiapkan
penghulu bagaimana dengan maharnya Ghisa?” tanya tama.
“Untuk mahar saya ingin hafalan
surat ArRahman dan cerita mengenai kejadian di Desa Kasih Sayang kemarin.”
“Ghisa, kamu yakin nak hanya itu?”
“Ya, Ghisa sangat yakin, karena
harta ataupun emas tak akan dapat Ghisa gunakan”
“Saya terima nikahnya Ghisa Ramadani
binti Fahrial Nabawi dengan mas kawin tasmi’ surat ArRahman yang akan dibacakan
setelah akad.”
“Sah!”
Haru menyelimuti rumah keluarga
Fahrial. Semua begitu indah, semuanya tak disangka terjadi sangat cepat, anak
mereka satu – satunya tlah disunting seorang pemuda berakhlak baik.
“maka,
nikmat
mana lagi yang kamu dustakan” Ar-Rahmaan:55.
Ghisa tak dihias sama sekali, hanya
air wudhu yang tlah membasuh wajahnya yang pucat, setelah selesai Ghisa memohon
izin untuk segera tidur, ia merasa lemas. Tama pun menemani dengan mendorong
kursi roda Ghisa dan menggendongnya untuk menaiki kasur.
“Mas Tama, bagaimana cerita mengenai
peristiwa kemarin?”
“Kau ingin mendengarnya sekarang?”
“Ya, aku sudah tak kuat lagi”
“Baiklah akan ku ceritakan.”
“Saat kau terjatuh aku melihatmu,
dan aku langsung turun, namun ternyata gempa masih terjadi sehingga akupun
terperosok dan tiba – tiba saja longsor
tanah terjadi, akupun langsung bersembunyi ke dalam gua yang ternyata saat itu
gua itu tertutupi tanah sehingga aku menjadi sesak. Aku terus menggali agar
dapat keluar dari gua itu. Alhamdulillah aku dapat keluar dan melihat kaki
seseorang yang terjepit batu, setelah kudekati, ternyata itu istriku tercinta,
yaitu Ghisa Ramadani” Tama tersenyum pada Ghisa, karena Ghisa yang senyum.
“Setelah itu, Aku menggendong
istriku seperti tadi dan segera mencari bantuan, karena saat itu kau pingsan,
istriku” Tama yang sambil bercerita melihat Ghisa yang memejamkan matanya
sambil tersenyum, ikut tersenyum, namun ia tak mendengar suara nafasnya, dan
iapun melihat sekujur tubuh Ghisa yang membeku.
“Ghisa, sayang, istriku shalihah,
bangun sayang, bangun.”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Makasih istriku, kau telah membuatku menceritakan semuanya, kau telah
medengarkanku sambil tersenyum, kau sudah dijemput untuk bertemu denganNya ya?
Hati hati ya sayangku.” Tama berbicara pada jenazah Ghisa yang tersenyum,
seakan – akan Ghisa berterima kasih
padanya yang telah menyadarkannya akan berbagai hal, terutama menjadi salah
satu penyebab masih bisanya ia memohon maaf pada kedua orang tuanya.
THE END
Assalamu'alaykum syifaaa... ngomen ah.. :)
ReplyDeleteCiyeeee ini cerpen karya ke berapa fa :)?? selamat y :)
blognya makin bagus..ajarin dongg hehe. :)
kalo cerpennya?? bagus2 :) ide sama amanatnya dapet.. :) dan ceritanya juga mahasiswa banget :), mungkin diksinya aja fa.. lebih cari kata yg g terlalu formal kalo antar tokoh lagi ngobrol :).. hmm mungkin karena tokoh tama nya kali ya karakternya emang gitu hehe,
sama 1 lagi fa,sebenernya sakit apa ghisanya?? sedih ih terakhirnya knapa harus meninggal d malam pertama..hehe
Oya kmren aku ikut acara seminar kepenulisan (tpi malu ih akunya belum mulai2 nulis hhe).. gini fa katanya.. kalo mau dimasukin k penerbit, untuk kalimat awal,, ga lagi ngejelasin latar.. (awan mendung menghiasi......) tapi langsung aja ke konflik,.. (info aja sih hehe) ntar buat latar bisa setelahnya.. tujuannya sih biar penerbit tertarik, kan tiap hari banyak tulisan yg masuk.. yg diliat ya awalnya.. :) hehe
over all keren :)
:)
ReplyDelete