Friday, November 8, 2013

Untitled #3

“Bunda, tadi Ghisa ingat ada seseorang yang menolong Ghisa, siapa dia? Dimana dia?”
            “Oh itu, petugas penyelamatan.”
            “Tapi, Ghisa kenal suaranya bunda.”
            “Bunda tak tahu nak, tadi yang mengantarkan Ghisa ke rumah sakit petugas penyelamatan, dan yang menelpon bunda adalah fianka.”
            “Teman – teman Ghisa dimana bunda?”
            “Teman – temanmu sedang mencari tempat tinggal sementara, sedangkan fianka sedang membeli makanan.”
            “Bunda Ghisa cape, Ghisa mau dengerin tilawah bunda ya? Boleh?”
            “Iya sayang”
            Bunda terus membacakan ayat suci Al-Qur’an, sementara Ghisa mendengarkannya penuh keharuan.

            “Nando, gimana keadaan yang lainnya?”
            “Alhamdulillah, Tama, kau sudah sadarkan diri, yang lainnya selamat, Ghisa pun sudah siuman ada di kamar sebelah.”
            “Alhamdulillah” Tama membaca doa untuk orang sakit dalam lirihannya.
            “Ibu dirumah tidak diberi tahu kan do?”
            “Tidak ada yang memberi tahu kok”
            “Hpku ada gak? Ingin telpon Ibu, takut khawatir.”
            “Aku lihat hp kamu tam, tapi sudah hancur ketika kami sedang mencari kalian.”
            “Innalillahi” Tama beranjak dari ranjangnya.”
            “Hey, mau kemana kau?”

            “Aku ingin menelpon dengan telpon umum do”
            “Astaghfirullah, ini pake hp ku gratis Tam!”
            “Yakin do?”
            “Yakinlah!”
            “Alhamdulillah, jazakallah ya ndo”
            “Ya, sama-sama.
           
            “Hallo, assalamu’alaikum ibu, ini Tama”
            “Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah, Tama kamu sehat nak? Ibu khawatir, hpmu kemana? Dari tadi ibu telpon tidak aktif, ibu khawatir kamu kenapa – napa nak.”
            “Alhamdulillah ibu, berkat doa ibu Tama disini baik – baik saja, maaf sudah membuat ibu khawatir. Untuk sementara ibu kalau ada apa – apa telpon ke nomor ini ya, ini nomor Nando, teman Tama. Ibu bagaimana keadaannya? Sudah baikan? Ayah sudah pulang?”
            “Alhamdulillah, ibu sudah baikan, tadi ibu dibawa ke dokter oleh ayah, ibu baik – baik aja, hanya kecapaian saja.”
            “Alhamdulillah, ibu baik – baik disana ya, istirahat dulu, baju tak usah dicuci, biar Tama sepulang dari sini yang mencucinya, maaf Tama gak jadi pulang hari ini karena disini kemalaman, Tama pulang 3 harian lagi karena Tama harus bantu-bantu teman disini ibu tak apa?”
            “Iya tak apa Tama, hati – hati disana ya, Ibu sayang sama Tama karena Allah muach.”
            “Tama juga sayang Ibu karena Allah, salam untuk bapak ya Ibu. Ibu istirahat ya, Tama pamit, Assalamu’alaikum.”
            “Waalaikumussalam”

            “Assalamu’alaikum Ghisa”
            “Assalamu’alaikum Ghisa”
            “Wa wa’alaikumussalam, Kamu siapa? Disini putih semua ”
            Ghisa membuka matanya perlahan, mengintip siapa yang menggendongnya.
            “Kamu siapa?” tanya Ghisa lirih.
            Tetapi laki – laki itu tak mendengar dan berbicara sendiri.
            “Maafkan saya Ghisa, saya tak bisa menggendongmu dengan hijab, karena tak ada, saya janji akan menikahimu segera. Maaf ya saya tahu kau orang yang menjaga hijab, begitupun dengan saya. Tenang saja sebentar lagi mereka akan menemukan kita, sekali lagi maafkan saya ya Ghisa”
            “Kamu siapa?”

            “Ghisaa, Ghisa sayang bangun.. istighfar ada apa Ghisa?”
            “Bunda, siapa yang nyelamatin Ghisa, bunda?”
            “Atas izin Allah, Ghisa dapat diselamatkan oleh petugas.”
            “Bukan bunda, bukan petugas, siapa bunda?”
            “Bunda tak tahu sayang. Sudah tak usah dipikirkan, Ghisa istirahat lagi ya, pasti tadi mimpi yang aneh ya? Sebelum tidur berdoa dulu sayang”
            “Ghisa ingin mendengar tilawah bunda lagi”
            “Boleh sayang”


Hari terakhir di rumah sakit
            “Dokter, alhamdulillah benar saya sudah bisa pulang dok?”
            “Ya, silahkan. Siapa yang mengantar?”
            “Saya dok saya yang akan membawa teman – teman saya pulang seperti saat berangkat.”
            “Hati – hati dijalan ya, jangan lupa obatnya dimakan dengan teratur dan ini surat untuk kontrol pertama di kota sana ya.”
            “Baik dok.”

            “Alhamdulillah kita sudah sampai di rumah ya, Ghisa mau makan apa? Biar bunda masakkan”
            “Ghisa ingin tidur bunda, Ghisa lelah dan pusing”
            “Ya sudah ayo bunda temani.”
           
            Siang itupun ada tamu ke rumah Ghisa.
            “Assalamu’alaikum”
            “Waalaikumussalam”
            “Waah nak Tama, sudah sehat?”
            “Alhamdulillah pak,  perkenalkan ini orang tua saya.”
            “Silahkan masuk, Selamat datang di rumah kami.”
            “Alhamdulillah terima kasih banyak atas bantuan bapak pada anak kami, Tama sudah menceritakan semuanya. Kami sangat berterima kasih pak”
            “Ya, itu tak seberapa, itu sebagai rasa syukur telah ditemukannya anak saya.”
            “Anak bapak yang cantik itu ya?”
            “Oh ya, jelas hehe, tahu darimana nih saya jadi malu.”
            “Ya, Tama yang bercerita tentang putri bapak.”
            Tama menyenggol ibunya yang berkata seperti itu dan tersipu malu.
            “Bundaaa, ada tamu, Ghisa dimana?”
            “Alhamdulillah ada tamu, Ghisa sedang tidur katanya masih pusing, maaf  bunda belum kenal mereka siapa ayah?”
            “Perkenalkan, ini Tama dan orang tuanya, teman Ghisa yang terluka seperti Ghisa”
            “Ooh Tama, ya maaf ya bunda belum pernah lihat, bunda juga gak sempat jenguk karena Ghisa sangat kritis dan tak bisa ditinggal”
            “Ya gak papa bunda, sekarang Ghisa bagaimana?”
            “Alhamdulillah, Sudah membaik meskipun belum dapat berjalan dan sekarang ini Ghisa sering mengigau siapa kamu, bunda juga gak ngerti kenapa bisa gitu ya. Kira – kira nak Tama tahu tidak ya penyebabnya?”
            “Oh kurang tahu bunda mungkin ia bermimpi yang kurang baik.” Jawab Tama langsung memalingkan wajahnya.
            “Ya, bunda kira juga seperti itu”
            “Oh ya, sebetulnya kami kemari ingin berterima kasih dan ingin menyampaikan pesan dari anak kami.”
            “Pesan apa pak?”
            “Anak kami Tama ingin menyampaikan lamaran kepada putri bapak.”
            “Waah, subhannallah, kok bisa mendadak seperti ini ya?”
            “Tama sudah memendam perasaanya sejak dulu pak, jadi ia merasa ini harus disegerakan.”
            “Waah, kami mau – mau saja menerima lamaran itu, mengingat Tama anak yang shaleh yang kami yakin Tama akan bisa menjadi imam yang baik bagi Ghisa, tapi sekarang  keadaan Ghisa masih kurang baik, kami harus mempertimbangkan dan mendiskusikannya dengan Ghisa.”
            Tiba – tiba Ghisa datang dari belakang ayahnya menggunakan kursi roda yang dibantu oleh bi fina.
            “Ghisa menerima lamaran Tama yah”
            “Ghisa” semua kaget mendengar suara yang lemas itu.
            “Ghisa terima ayah, bunda, Ghisa siap menikah sekarang juga insyaAllah, masalah resepsi ataupun yang lainnya biar nanti saja.”
            “Subhannallah, kamu yakin Ghisa?”
            “Ya, Ghisa sangat yakin insyaAllah.”
            “Baiklah, sayapun siap menikah hari ini, insyaAllah ibu, bapak dan ayah bunda.” Jawab Tama dengan mantap dan penuh keyakinan.
            “Sebentar, ayah tak sangka dan bingung mengapa secepat ini? Apa ada hal yang kalian lakukan sebelumnya?”
            “Tidak!” jawab Tama dan Ghisa serentak.
            “Ayah percaya, namun dapatkah dijelaskan mengapa harus secepat ini?”
            “Menikah itu sunnah ayah, harus disegerakan.” Ghisa tersipu malu.
            “Saya setuju dengan Ghisa, bagaimana ayah dan bunda? Bolehkah saya menikahi putri ayah dan bunda?”
            “Bunda bahagia jika Ghisa bahagia.”
            “Baiklah, ayah setuju, kita harus mempersiapkannya dulu, pernikahan nanti malam ba’dza isya, bagaimana?”
            “Ya, baik kami yang akan menyiapkan penghulu bagaimana dengan maharnya Ghisa?” tanya tama.
            “Untuk mahar saya ingin hafalan surat ArRahman dan cerita mengenai kejadian di Desa Kasih Sayang kemarin.”
            “Ghisa, kamu yakin nak hanya itu?”
            “Ya, Ghisa sangat yakin, karena harta ataupun emas tak akan dapat Ghisa gunakan”
           
            “Saya terima nikahnya Ghisa Ramadani binti Fahrial Nabawi dengan mas kawin tasmi’ surat ArRahman yang akan dibacakan setelah akad.”           
            “Sah!”
            Haru menyelimuti rumah keluarga Fahrial. Semua begitu indah, semuanya tak disangka terjadi sangat cepat, anak mereka satu – satunya tlah disunting seorang pemuda berakhlak baik.
            “maka,  nikmat  mana lagi yang kamu dustakan” Ar-Rahmaan:55.
            Ghisa tak dihias sama sekali, hanya air wudhu yang tlah membasuh wajahnya yang pucat, setelah selesai Ghisa memohon izin untuk segera tidur, ia merasa lemas. Tama pun menemani dengan mendorong kursi roda Ghisa dan menggendongnya untuk menaiki kasur.
            “Mas Tama, bagaimana cerita mengenai peristiwa kemarin?”
            “Kau ingin mendengarnya sekarang?”
            “Ya, aku sudah tak kuat lagi”
            “Baiklah akan ku ceritakan.”
            “Saat kau terjatuh aku melihatmu, dan aku langsung turun, namun ternyata gempa masih terjadi sehingga akupun terperosok dan tiba – tiba  saja longsor tanah terjadi, akupun langsung bersembunyi ke dalam gua yang ternyata saat itu gua itu tertutupi tanah sehingga aku menjadi sesak. Aku terus menggali agar dapat keluar dari gua itu. Alhamdulillah aku dapat keluar dan melihat kaki seseorang yang terjepit batu, setelah kudekati, ternyata itu istriku tercinta, yaitu Ghisa Ramadani” Tama tersenyum pada Ghisa, karena Ghisa yang senyum.
            “Setelah itu, Aku menggendong istriku seperti tadi dan segera mencari bantuan, karena saat itu kau pingsan, istriku” Tama yang sambil bercerita melihat Ghisa yang memejamkan matanya sambil tersenyum, ikut tersenyum, namun ia tak mendengar suara nafasnya, dan iapun melihat sekujur tubuh Ghisa yang membeku.
            “Ghisa, sayang, istriku shalihah, bangun sayang, bangun.”

            “Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun. Makasih istriku, kau telah membuatku menceritakan semuanya, kau telah medengarkanku sambil tersenyum, kau sudah dijemput untuk bertemu denganNya ya? Hati hati ya sayangku.” Tama berbicara pada jenazah Ghisa yang tersenyum, seakan – akan  Ghisa berterima kasih padanya yang telah menyadarkannya akan berbagai hal, terutama menjadi salah satu penyebab masih bisanya ia memohon maaf pada kedua orang tuanya.   THE END

2 comments:

  1. Assalamu'alaykum syifaaa... ngomen ah.. :)
    Ciyeeee ini cerpen karya ke berapa fa :)?? selamat y :)
    blognya makin bagus..ajarin dongg hehe. :)
    kalo cerpennya?? bagus2 :) ide sama amanatnya dapet.. :) dan ceritanya juga mahasiswa banget :), mungkin diksinya aja fa.. lebih cari kata yg g terlalu formal kalo antar tokoh lagi ngobrol :).. hmm mungkin karena tokoh tama nya kali ya karakternya emang gitu hehe,
    sama 1 lagi fa,sebenernya sakit apa ghisanya?? sedih ih terakhirnya knapa harus meninggal d malam pertama..hehe
    Oya kmren aku ikut acara seminar kepenulisan (tpi malu ih akunya belum mulai2 nulis hhe).. gini fa katanya.. kalo mau dimasukin k penerbit, untuk kalimat awal,, ga lagi ngejelasin latar.. (awan mendung menghiasi......) tapi langsung aja ke konflik,.. (info aja sih hehe) ntar buat latar bisa setelahnya.. tujuannya sih biar penerbit tertarik, kan tiap hari banyak tulisan yg masuk.. yg diliat ya awalnya.. :) hehe
    over all keren :)

    ReplyDelete

Pejuang Garis Dua PCOS FIGHTER Tahun ke-5 part 2 Diet untuk PCOS

  Cerita HSG dan test hormonku. Saat akan HSG dan test hormon ini, aku sedang depresi... MasyaAllah... Aku sedang dihadapkan dengan harus be...